Bertahan Dengan Virtual Office
Mungkin tidak semua orang akan sepakat dengan kosep serta model solutif yang ada didepan mata mereka. Tapi memilih solusi bertahan dalam bisnis memerlukan beberapa startegi dan pendekatan serta kriteria yang masuk akal demi mencapai cita-cita bisnis yang diharapkan. Artikel dengan judul bertahan dengan virtual office adalah sebuah explorasi hidup selama menjalan bisnis dan usaha kecil kecilan 10 tahun terakhir. Beberapa orang mungkin melihat tulisan pendek seperti ini adalah tulisan yang seakan-akan mengada-ada. Dengan judul bertahan dengan virtual office agak provokatif tidak lain ingin mengatakan sebuah pengalaman berbisnis adalah pengalaman yang bisa menjadi guru dalam proses pengambilan keputusan dimasa datang. Dan tentu untuk memastikan bahwa kesalahan sa’at ini tidak akan terulang. Sebagai penontong kadang mungkin melihat teman, sahabat atau orang tidak dikenal menjalankan usaha mereka, tidak begitu menjanjikan. Dan dari sisi lain sepertinya juga sangat seksi karena mereka bisa mengatur waktu. Dan jadwal sesui kebutuhan mereka. Dibelakang itu semua, beberapa orang tidak terlalu tahu. Bagaimana mereka para perintis bertahan demi sebuah cita-cita.
Sebut Expresoo Virtual Office
Sebuah entitas rumah bagi para perintis, dimana solusi yang ditawarkan adalah solusi bagi pelaku usaha yang dalam jangka panjang membutuhkan jaminan serta kepastian dalam upaya atau usah yang mereka rintis. Dan untuk kasus budaya di Indonesia, sangat jarang seseorang memulai usaha demi membangun mimpi atau cita-cita. Umumnya orang-orang ini memulai bisinis mereka karena ada kebutuhan hidup dan tentu kebutuhan makan. Karena waluapun budaya Indonesia pada zamannya, adalah budaya yang guyub tapi pada akhirnya. Terutam zaman sekarang, hal tersebut hanyalah dongeng pengantar tidur. Dan pada titik tertentu seseorang tidak bisa lagi berharap pada nilai budaya leluhur yang sepertinya menjanjikan ini. Sehingga mesti berjuang dan memutuskan dalam risiko dan ketidakpastian sendiri. Menyadari latar belakang yang komplek dan sangat dramatis ini. Penulis melihat bahwa dibutuhkan kehadiran sebuah rumah bersama, yang setidaknya meringankan tantangan dalam merintis usaha dan upaya untuk bertahan atau survive. Lalu jika ditanya seperti apa model mental para perintis yang memilki mental bertahan ini. Tentu mereka sangat sensitif dengan harga.
Hal seperti ini tentu tidak mudah dihadapi, karena orang-orang yang sensitif dengan harga menginnkan sebuah kesempurnaan dengan kemampuan memenuhi harga sangat minim. Dan bagaimanapun, yang membuatnya lebih menarik adalah, penulis banyak belajar dari cara bertahan dan adaptasi orang orang ini. Dimana penulis pada akhirnya merasa tidak sendiri dalam ke sensitifian tersebut.